Filosofi mendhoan

Filosofi mendhoan
Kata mendoan dianggap berasal dari bahasa Banyumasan, mendo yang berarti setengah matang atau lembek. Mendoan berarti memasak dengan minyak panas yang banyak dengan cepat sehingga masakan tidak matang benar. Bahan makanan yang paling sering dibuat mendoan adalah tempe dan tahu. Mendoan tempe disajikan dalam keadaan panas disertai dengan cabe rawit atau sambal kecap. Mendoan tempe dapat dijadikan sebagai lauk makan ataupun makanan ringan untuk menemani minum teh atau kopi saat santai.
Mendoan tempe mudah ditemui di warung-warung tradisional di wilayah eks karesidenan Banyumas dan Tegal. Untuk wilayah Banyumas, para pelancong membeli oleh-oleh mendoan tempe di daerah Sawangan, Purwokerto, yang merupakan pusat jajanan khas Purwokerto.
Rasa yang "unik" membuat makanan ini menyebar hingga ke luar daerah Banyumas. Tempe Mendoan dapat ditemui di kota-kota besar Jawa Tengah, bahkan hingga ke Jakarta. Di kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Semarang, Mendoan lebih merujuk ke tempe goreng tepung, atau di daerah lain disebut tempe kemul, di mana tempe yang berbentuk tipis itu hanya irisan. Hal ini sedikit menimbulkan kerancuan, terutama bagi pendatang dari Jawa Tengah bagian barat. Mendoan purwokerto berbeda dengan mendoan dari beberapa kota di wilayah jawa tengah, lebih terasa basah minyaknya. Mendoan khas purwokerto lebih nikmat apabila di sajikan dalam keadaan hangat. Makanan ini dapat dibuat tanpa memperhatikan besarnya tempe atau banyaknya tepung. Mendoan tanpa tempe atau mendoan dari bekas sisia tepung juga nikmat disantap.
Mendhoan jika ditilik dalam struktur kata berbahasa Jawa terdiri dari ater-ater (kata dasar) berupa ‘mendho,’ ini memberikan sinyal mengenai posisi mendho yang dalam bahasa Jawa merupakan ungkapan untuk mengatakan “diantara kata mendhak (kebawah) dan juga kata mendhuwur (keatas).” Artinya, mendho ini memiliki definisi “tanggung,” yaitu tak di bawah pun tak di atas. Meski bisa saja ditengarai sebagai sebuah “kebetulan” namun kata mendho tetap bisa diyakini merupakan ungkapan dari sebuah keadaan bernama mendhoan yang juga memiliki posisi serba tanggung. Yaitu sebuah makanan tempe goreng dibaluti tepung yang tak kering namun juga tidak terlalu basah. Pasalnya kalau sampai kering, tentu saja namanya bukan mendhoan lagi melainkan tempe keripik, begitu pula kalau terlalu basah tentunya akan menjadi wujud lain, entah bernama oncom ataupun lainnya.
Kata ‘mendo’ apabila huruf “E” dilafalkan seperti pada kata ‘Ekonomi’, sedangkan huruf “O” dilafalkan sebagaimana pada kata ‘kotor,’ maka dalam bahasa Jawa krama (Jawa halus) akan memiliki definisi ‘kambing’
Apabila kata dasar mendhoan ini adalah ‘endho’ dan pelafalannya juga diucapkan serupa dengan mendo yang berarti kambing, maka akan memiliki terjemahan ‘menghindar’. Sebagai contoh dalam kalimat; Pada saat hendak ditabrak sepedamotor, saya menghindar = Pas arep ditabrak motor, aku endho.

Dari deskripsi ini dapat diambil maknanya, bahwa meskipun mendhoan itu enak dan nikmat rasanya namun ada nasehat agar kita tak terbuai dalam kenikmatan dunia saja, pasalnya ada hal lain yang juga harus berani dilakukan, yaitu berjalan ‘mendhuwur’ alias keatas, bukan hanya menikmati untuk tetap tinggal di tengah seperti enaknya rasa mendoan itu, dan bukan pula harus kebawah (mendhak).            Apabila kita telah sampai pada posisi di atas, seyogyanya  tetap berusaha agar senantiasa eling (ingat) dan tak lupa-diri layaknya si mendo alias kambing.          Sebagaimana kita tahu bahwa kambing ketika lapar maunya hanya teriak dan mengembik, kemudian akan diam tatkala hasratnya telah terpenuhi, bahkan kadangkala malah menyimpan makanan di perutnya sehingga didalam kandang bermales-malesan sambil tiduran “nggayemi” (mengunyah makanan). Masih dari filosofi mendhoan, alangkah mulia apabila amanat dalam menjalankan kehidupan ini kita menerapkan rasa tanggungjawab tanpa melakukan tindakan endho ataupun menghindar dari kenyataan yang sudah sepantasnya dihadapi.

Postingan populer dari blog ini

Visi ilmu di indonesia

Karakteristik anak usia remaja (SMP/SMA)

Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan