Filosofi ketupat
Filosofi
ketupat
Ketupat
atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara maritim berbahan dasar beras yang
dibungkus dengan pembungkus terbuat dari anyaman daun kelapa (janur) yang masih
muda. Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat
Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan khas yang menggunakan ketupat,
antara lain kupat tahu (Sunda), katupat kandangan (Banjar), Grabag (kabupaten
Magelang), kupat glabet (Kota Tegal), coto makassar (dari Makassar, ketupat
dinamakan Katupa), lotek, serta gado-gado yang dapat dihidangkan dengan ketupat
atau lontong. Ketupat juga dapat dihidangkan untuk menyertai satai, meskipun
lontong lebih umum. Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia,
Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat
namun dengan pola anyaman berbeda.
Ada
dua bentuk utama ketupat yaitu kepal bersudut 7 (lebih umum) dan jajaran
genjang bersudut 6. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda.
Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang,
tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.
Arti
Kata Ketupat
Dalam
filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya
lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa
merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat.
Ngaku
lepat artinya mengakui kesalahan.
Laku
papat artinya empat tindakan.
Makna
ketupat
1.
Mencerminkan beragam kesalahan manusia.
Hal
ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini.
2.
Kesucian hati.
Setelah
ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini mencerminkan
kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala kesalahan.
3.
Mencerminkan kesempurnaan.
Bentuk
ketupat begitu sempurna dan hal ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam
setelah sebulan lamanya berpuasa dan akhirnya menginjak Idul Fitri.